Rabu, 20 Juni 2012

Kisah Dua Muadzin Nabi SAW :: ABDULLAH IBNU UMMI MAKTUM


Kisah Dua Muadzin Nabi SAW :: ABDULLAH IBNU UMMI MAKTUM
Sahabat Buta Kesayangan Nabi SAW

Apabila Bilal RA tidak ada, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai pengganti Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat lima waktu, karena suaranya yang merdu dan lembut. Tetapi bila Bilal ada, maka Bilal yang adzan, dan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan iqamat. 

Ia bukanlah tokoh Makkah, ia hanya orang biasa. Bahkan namanya tak dikenal sebelum Islam datang. Matanya buta sejak lahir. Meski begitu, semangatnya untuk belajar sangat tinggi. Ia memanfaatkan pendengaran dan ingatannya sebaik-baik mungkin. Apa yang didengarnya tidak pernah dilupakannya lagi, sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa yang sudah didengarnya.

Ia hidup untuk dirinya sendiri. Dan keistimewaannya adalah, tatkala Bilal RA tidak ada, maka ia yang mengumandangkan adzan.  Dan apabila pada bulan Ramadhan, Bilal RA adzan untuk mengingatkan orang terhadap waktu sahur, maka Ibnu Ummi Maktum adzan untuk menandakan waktu imsak.

Mengenai ini, Rasulullah SAW pernah bersabda; “Apabila Bilal adzan malam hari, kalian boleh makan dan minum hingga terdengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”

Bukan hanya itu, Rasulullah juga mengangkatnya sebagai wakil apabila beliau keluar meninggalkan Madinah untuk berperang, diantaranya saat menyerang Kabilah Banu Sulaim dan Kabilah Bani Ghathafan. Ia menjadi wali kota Madinah selama perginya Rasulullah, menjadi imam bagi shalat berjamaah, dan khatib saat shalat Jum’at menggantikan Rasulullah SAW.

Berikut kisah-kisah keteladanannya yang patut menjadi contoh.
------------------------------------------------------------
Suatu shubuh, saat adzan dikumandangkan, Ibnu Ummi berangkat menuju mesjid meski matanya buta (sejak lahir). Di tengah jalan, ia tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun tekadnya sudah kuat untuk shalat berjamaah ke mesjid.

Waktu shubuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda tersebut menolongnya dan menuntunnya untuk sampai ke mesjid agar tidak tersandung dan terjatuh seperti kemarin. Sejak saat itulah, pemuda yang sama pun berhari-hari kemudian selalu menuntunnya untuk pergi ke mesjid.

Ibnu Ummi Maktum kemudian bermaksud ingin membalas kebaikan pemuda tersebut, dengan ingin menanyakan namanya, dan mendo’akannya. Tetapi pemuda itu menolak. 

“Wahai saudaraku, siapakah gerangan nama mu? Izinkan aku mengetahuinya, agar aku bisa mendo’akanmu kepada Allah,” ujarnya. 

“Apa untungnya bagimu mengetahui namaku ? Dan aku tidak mau engkau do’akan,” jawab pemuda itu.

“Jika demikian, cukup sampai disini engkau membantuku. Aku tak mau engkau bantu lagi, karena engkau tak mau ku do’akan.” Kata Ibnu Ummi Maktum.

Akhirnya pemuda itu mengenalkan siapa dirinya sesungguhnya. 

“Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis,” ujarnya.

“Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarku mesjid?” Bukankah engkau seharusnya mencegahku untuk datang ke mesjid?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.

Pemuda yang sesungguhnya adalah Iblis itu pun berkata;

“Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala menuju mesjid, kau tersandung dan terjatuh? Aku hanya ingin itu tak terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau terjatuh lagi, Allah menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi. Sehingga terhapuslah seluruh dosamu. Maka, sia-sia lah aku menggodamu selama ini.” Kata Iblis.
------------------------------------------------------------
Allah SWT pun menghargainya dengan memasukkannya kedalam Al-Qur’an. Kisah ini terjadi kala Ibnu Ummi Maktum menemui Rasulullah untuk belajar dan meminta beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya. Namun, saat itu Rasulullah sedang sibuk menghadapi beberapa tokoh-tokoh Qurays, diantaranya Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, dan Abbas bin Abdul Muthalib. Dengan harapan mereka mau masuk Islam, dan meringankan tugasnya serta memudahkan perkembangan Islam. Karena mereka lah yang selalu merintangi Islam dengan nyawa, harta, kedudukan, dan wibawanya. 

Ibnu Ummi Maktum mengulangi permintaannya itu berulang-ulang di depan Rasulullah, sehingga Rasulullah merasa terganggu, dengan sikapnya yang selalu memotong pembicaraannya dengan tokoh-tokoh Qurays tersebut. Karena itu, Rasulullah memalingkan mukanya dari Ibnu Ummi Maktum. 

Disinilah Allah SWT menegur Rasulullah SAW bahwa sikapnya yang demikian itu tidak pantas bagi orang yang memiliki akhlaq dan luhur yang tinggi.

Allah berfirman; “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau ia (ingin) mendapat pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya cukup, kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapat pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), kamu mengabaikannya.” (QS Abasa: 1-10).

Sejak saat itulah, sebagaimana dinukilkan dalam kitab at-Tafsir al-Munir, karya Syaikh Nawawi Al-Jawi, Sayyid ‘Ulama Al-Hijaz, Rasulullah sangat memuliakan Ibnu Ummi Maktum. Bila bertemu dengannya, beliau selalu berkata, “Selamat datang, wahai sahabat, yang aku ditegur Tuhanku karenanya. Apa engkau memerlukan sesuatu?”
 
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bertemu dengannya, beliau suka berucap, “Selamat datang wahai orang yang dititipkan Tuhanku, untuk diperlakukan dengan baik.”
------------------------------------------------------------
Setelah perang Badar, Allah SWT menurunkan wahyu / ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Dan mencela orang-orang yang tanpa uzur tapi menolak untuk berperang.

Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati Ibnu Ummi Maktum. Tetapi sukar baginya untuk mendapatkan kemuliaan itu karena keterbatasan fisiknya, yakni mata yang buta. Lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, jika saya tidak buta, tentu saya akan pergi berperang.”

Kemudian ia bermohon kepada Allah SWT dengan penuh kerendahan hati, semoga menurunkan pula ayat-ayat yang mengenai orang-orang dalam keadaan cacat (udzur) tetapi ingin juga berperang. Ia senantiasa berdo’a; “Ya Allah, turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang memiliki udzur seperti ku.”
Tidak berapa lama, do’anya dikabulkan Allah.

Zaid bin Tsabit yang menjadi juru tulis Rasulullah yang mendapat tugas menulis wahyu, menceritakan, “Aku duduk disamping Rasulullah SAW. Tiba-tiba beliau diam, sedang paha beliau terletak diatas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu.

Susudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, ‘Tulislah, hai Zaid!’

Lalu aku menulisnya, ‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah…’ – QS An-Nisa: 95.

Ibnu Ummi Maktum berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup berjihad (berperang karena cacat)?’

Setelah pertanyaan Abdullah, Rasulullah SAW berdiam dan paha beliau menekan pahaku, dan aku merasa menanggung beban yang berat seperti tadi.

Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, ‘Coba baca kembali yang telah engkau tulis!’
Aku membaca, ‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk(tidak turut berperang).’

Lalu kata beliau, ‘Tulis: kecuali mereka bagi orang-orang yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan, ataupun anak-anak, yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan’.” – QS An-Nisa: 98.
Maka turunlah pengecualian yang diharapkan Ibnu Ummi Maktum tersebut.

Meski Allah telah memaafkan orang-orang yang punya udzur, tetapi ia tetap bertekad untuk ikut berperang fi sabilillah. Bahkan ia menentukan tugasnya sendiri di medan perang. Tekad itu timbul karena jiwa yang besar tak bisa dibilang besar jika belum mengerjakan suatu pekerjaan yang besar.

Ia berkata, “Letakkanlah saya diantara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya tidak akan lari.”

Tahun ke 14 Hijriyyah, Khalifah Umar bin Khaththab memutuskan untuk masuk ke Persia dengan jalan perang. Meruntuhkan pemerintahan yang zhalim dan kafir dengan pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid. Maka ia memerintahkan segenap gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, “Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang-orang yang bersenjata, orang yang mempunya kuda, atau yang berani, atau yang berfikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”

Maka berkumpullah di Madinah dari segala penjuru, kaum muslimin yang memenuhi seruan Khalifah. Diantara mereka itu terdapat seorang buta, yakni Ibnu Ummi Maktum. Khalifah Umar bin Khaththab mengangkat Sa’ad bin Abi Waqash sebagai panglima perang. Dan memberikan instruksi-instruksi kepada Sa’ad.

Setelah pasukan itu sampai di Qadisiyah, Abdullah Ibnu Ummi Maktum mengenakan baju besi dan berpakaian lengkap dengan perlengkapan yang sempurna. Ia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin. Dan berjanji senantiasa mengibarkannya, atau mati disamping bendera itu.

Pada hari ketiga perang di Qadisiyah, terjadi peperangan yang dahsyatnya belum mereka lihat sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan itu dan runtuhlah kekuasaan negeri yang zhalim dan penyembah berhala tersebut.

Sedangkan Abdullah Ibnu Ummi Maktum, ditemukan tewas dengan darah wanginya, sambil memeluk bendera kaum Muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar