Jumat, 21 September 2012

Tantangan Terbuka Dari Ahok


“Assalamu 'alaikum wa Rahmatullah.

Munculnya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) di dunia politik atas prestasi dan filosofinya sebagai Bupati Belitung, sebenarnya tantangan terbuka untuk cedekiawan, dan umat Muslim. Baik dari kalangan mahasiswa, santri, atau anak-anak pengajian.

Kita tak selamanya cuma bisa "ngumpet" dibalik tirai-tirai sutrah ta'lim, tapi di lain tempat kita memaki pemerintah dan geleng kepala lihat kondisi rakyat.

Saat punya atau ditodong peluang maju, kita mengelak. Dengan alasan takut terjerumus rayuan syetan.

Katanya ingin umat selamat, jadi gubernur atau bupati juga salah satu jalannya.

Rakyat Palestina juga begitu kok. Anda harus jadi perubahan itu sendiri. Karna umat butuh jaminan sosial, bukan cuma bantuan sosial. Dan jaminan sosial itu sebagian besar ada di tangan pemimpin umat.”

Itu adalah status yang saya update beberapa hari yang lalu. Agak tak biasanya sih, saya membuat status yang beraroma politis seperti ini. Tetapi, cukup menarik untuk dikaji bagaimana fenomena Ahok yang muncul dalam bursa pencalonan wakil gubernur DKI periode 2012 – 2017 berpasan gan dengan Joko Widodo asal Solo. 

Berkorelasi juga dengan tulisan yang saya postingan sebelumnya, walau mungkin temanya berbeda, ini tentang Ahok,atau yang punya nama Indonesia Basuki Tjahaja Purnama.

Agar lebih mudah memahami isi tulisan ini, ada baiknya kita flashback agak jauh kebeberapa tahun yang lalu; tepatnya di tahun 2004 menjelang 2005 ketika ia mulai berkarir di kancah politik daerah.

Saat mencalonkan diri sebagai bupati Belitung Timur, Basuki Tjahaja Purnama sempat mendapat sandungan. Mudah dimaklumi karena sandungan yang menerpanya saat itu bukanlah perihal kecil. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim, isu perbedaan agama jadi senjata lawan politik dalam menghentikan langkahnya untuk duduk di kursi nomor satu Belitung Timur pada saat itu.

Lahir di keluarga yang berasal dari etnis Tiong Hoa serta beragama Kristen, ia termasuk kaum minoritas di lingkungan tempat ia tumbuh dan hidup. Cap negative bukan lagi hal yang asing. Itu resiko sebagai kaum minoritas.

Tetapi, berbekal pendekatan yang lunak dan berbuat sesuai dengan apa yang masyarakat harapkan, ia sukses melenggang jadi bupati. Walau sudah duduk di kursi nomor satu, bukan berarti tak ada gangguan lagi. Isu perbedaan agama masih jadi senjata andalan. Bahkan ada yang lantang mengatakan “kafir” untuk menjatuhkannya dari pucuk pimpinan daerah.

Saat mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI beberapa saat yang lalu, ia juga mendapat serangan yang sama. Isu perbedaan agama. 

Tak jelas, apakah ini memang berasal dari kalangan agamawan, atau orang-orang tertentu yang ingin menghambat langkahnya di dunia politik. Dan sementara, kalangan agamawan masih adem ayem menyikapi masuknya nama BTP didaftar calon.

Yah, saya seorang Muslim. Dalam beberapa buku dan Al – Qur’an sendiri sebagai rujukan utama, ada perintah yang jelas untuk tidak memilih non-muslim sebagai pemimpin. Kekhawatirannya adalah jika saja mereka malah menekan kaum muslimin, dan menghancurkan mereka dengan kekuasaannya. Baik dari segi fisik, atau pun segi intelektual dan spiritual.

Bahkan dalam beberapa riwayat hadits, sekalipun pemimpin umat itu adalah diktator berdarah dingin, jika ia seorang muslim, tetap wajib menghormatinya sebagai pemimpin. Dalam beberapa sejarah kejayaan pemerintahan Islam pun, kepemimpinan berdarah bukanlah hal baru. Namun, huru-hara pada masa itu sangatlah minim. Cerita rakyat yang berdemonstrasi juga tak terdengar ada. Ini diperkirakan karena para Ulama cukup ketat mengelola umat.

Mengenai permasalahan boleh atau tidaknya mengangkat pemimpin non-muslim di masa sekarang, saya tidak berani mengambil keputusan berhubung saya juga belum membaca semua dalil yang ada, dan juga belum meminta pen jelasan dari beberapa ulama. Lagian, saya juga tidak membahas hal tersebut ditulisan ini.

Sekarang, cukup banyak orang yang mencela pemerintahan cacat. Mulai dari organisasi masyarakat, pemuda, mahasiswa, sampai organisasi berbasis keagamaan. Bahkan beberapa masa belakangan ini, organisasi keagamaan juga semakin ramai dalam aktivitas ini.

Saat isu perbedaan agama yang melibatkan Ahok menguap naik, beberapa kelompok gencar mengeluarkan dalil-dalil untuk tidak memilih pemimpin non-muslim.

Sadarkah kita, umat Muslim yang tercinta, bahwa kemunculan Ahok itu sebenarnya tantangan untuk kaum cedekiawan Muslim ?

Kita hanya aktif sebagai pencela dan kritikus. Kita merasa cukup dengan aksi sosial. Dan terbukti, aksi tersebut tidaklah menjamin keadilan sosial untuk waktu yang panjang. Yang mana, sifatnya hanyalah untuk keadaan yang terjadi saat ini saja.

Beberapa organisasi yang patut diacungi jempol antara lain adalah Muhammadiyah dan FPI. Muhammadiyah konsen bergerak dibidang pendidikan dan kemaslahatan umat. FPI juga sangat solid dan sudah punya jaminan bahwa umat yang diayominya mendapat perlindungan dari pengaruh buruk.

Sedangkan sisanya ? Saya tidak mungkin mengatakan sisanya cuma bisa talk more.

Ada banyak cara sebenarnya untuk membangun kejayaan umat. Melalui pendidikan, perdagangan,  pertanian, olahraga, teknologi, dan lain-lain. Cuma, kita kekurangan aksi dibidang politik pemerintahan.

Bukan apa-apa. Sudah saatnya yang selama ini bersembunyi di balik tirai sutrah ta’lim, keluar dan terjun ke dunia pemerintahan.

Ahok juga tidak om-do alias omong doang. Jiwa sosialnya terbukti tinggi dan jadi monument tak kasat mata di Belitung  Timur. Filosofinya sebagai pemimpin dan cara hidupnya dalam membangun kehidupan sosial sangat Islami. Program kerjanya benar dan sesuai janji.

Sebenarnya ini sindiran telak. Kenapa justru pemimpin yang non-muslim punya mental seperti itu ?

Memang tak semua, namun sejauh ini, yang terkurung di penjara, yang sedang disidang KPK karena kasus korupsi, mayoritas adalah orang muslim. Jumlah mayoritas umat Muslim mungkin jadi perbandingan lurus, kalau yang banyak kena kasus juga orang muslim.

Di satu tempat kita khawatir dengan agresi politik non-muslim yang jadi pemimpin daerah. Di tempat lain, kita mencela pemerintahan sekarang yang dihuni oleh orang-orang muslim. Dan pada satu waktu, kita menekan keras agar umat kita mempertahankan kepemimpinan pemimpin muslim, meski ia tercela karena ketakutan pada agresi politik non-muslim.

Yah, sudah saatnya kita keluar dari tirai sutrah ta’lim yang tersembunyi. Ulama sudah saatnya melakukan pembibitan pemimpin. Jika  ingin pemimpin yang betul-betul menjalankan ajaran Islam, kita harus terlibat disana. Bukan hanya mengkritisi mereka, bukan hanya menunggu siapa lagi pemimpin selanjutnya yang akan kita kritisi.

#Masyarakat butuh keadilan sosial, bukan bantuan sosial. Selama ini, yang terjadi adalah ; pemimpin tidak benar-benar bisa memberikan keadilan sosial bagi rakyatnya. Mana kah yang lebih baik, pemimpin yang memberikan pengobatan gratis dan uang santunan pada korban penonjokan? Atau pemimpin yang memberikan jaminan bahwa tidak akan ada rakyatnya yang kena tonjok ?

Mana kah pemimpin yang baik? Apakah pemimpin yang bisa memberikan pengobatan gratis? Atau pemimpin yang bisa memberikan layanan kesehatan dan sarana public yang sehat secara terus menerus?

Rakyat butuh jaminan bahwa mereka bisa sekolah gratis. Bukan bantuan satu-persatu yang hanya turun pada momen-momen tertentu seperti sekolah gratis bagi pengungsi bencana alam. Saat keadaan membaik, sekolah gratis hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar