“Assalamu 'alaikum wa
Rahmatullah.
Munculnya Ahok (Basuki
Tjahaja Purnama) di dunia politik atas prestasi dan filosofinya sebagai Bupati
Belitung, sebenarnya tantangan terbuka untuk cedekiawan, dan umat Muslim. Baik
dari kalangan mahasiswa, santri, atau anak-anak pengajian.
Kita tak selamanya
cuma bisa "ngumpet" dibalik tirai-tirai sutrah ta'lim, tapi di lain
tempat kita memaki pemerintah dan geleng kepala lihat kondisi rakyat.
Saat punya atau
ditodong peluang maju, kita mengelak. Dengan alasan takut terjerumus rayuan
syetan.
Katanya ingin umat
selamat, jadi gubernur atau bupati juga salah satu jalannya.
Rakyat Palestina juga
begitu kok. Anda harus jadi perubahan itu sendiri. Karna umat butuh jaminan
sosial, bukan cuma bantuan sosial. Dan jaminan sosial itu sebagian besar ada di
tangan pemimpin umat.”
Itu adalah status yang saya update beberapa hari yang lalu. Agak
tak biasanya sih, saya membuat status yang beraroma politis seperti ini.
Tetapi, cukup menarik untuk dikaji bagaimana fenomena Ahok yang muncul dalam bursa
pencalonan wakil gubernur DKI periode 2012 – 2017 berpasan gan dengan Joko
Widodo asal Solo.
Berkorelasi juga dengan tulisan yang saya postingan
sebelumnya, walau mungkin temanya berbeda, ini tentang Ahok,atau yang punya
nama Indonesia Basuki Tjahaja Purnama.
Agar lebih mudah memahami isi tulisan ini, ada baiknya kita flashback agak jauh kebeberapa tahun
yang lalu; tepatnya di tahun 2004 menjelang 2005 ketika ia mulai berkarir di
kancah politik daerah.
Saat mencalonkan diri sebagai bupati Belitung Timur, Basuki
Tjahaja Purnama sempat mendapat sandungan. Mudah dimaklumi karena sandungan
yang menerpanya saat itu bukanlah perihal kecil. Hidup di tengah-tengah
masyarakat yang mayoritas muslim, isu perbedaan agama jadi senjata lawan
politik dalam menghentikan langkahnya untuk duduk di kursi nomor satu Belitung
Timur pada saat itu.
Lahir di keluarga yang berasal dari etnis Tiong Hoa serta
beragama Kristen, ia termasuk kaum minoritas di lingkungan tempat ia tumbuh dan
hidup. Cap negative bukan lagi hal yang asing. Itu resiko sebagai kaum
minoritas.
Tetapi, berbekal pendekatan yang lunak dan berbuat sesuai
dengan apa yang masyarakat harapkan, ia sukses melenggang jadi bupati. Walau
sudah duduk di kursi nomor satu, bukan berarti tak ada gangguan lagi. Isu
perbedaan agama masih jadi senjata andalan. Bahkan ada yang lantang mengatakan
“kafir” untuk menjatuhkannya dari pucuk pimpinan daerah.
Saat mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI beberapa
saat yang lalu, ia juga mendapat serangan yang sama. Isu perbedaan agama.
Tak jelas, apakah ini memang berasal dari kalangan agamawan,
atau orang-orang tertentu yang ingin menghambat langkahnya di dunia politik.
Dan sementara, kalangan agamawan masih adem ayem menyikapi masuknya nama BTP
didaftar calon.
Yah, saya seorang Muslim. Dalam beberapa buku dan Al – Qur’an
sendiri sebagai rujukan utama, ada perintah yang jelas untuk tidak memilih
non-muslim sebagai pemimpin. Kekhawatirannya adalah jika saja mereka malah
menekan kaum muslimin, dan menghancurkan mereka dengan kekuasaannya. Baik dari
segi fisik, atau pun segi intelektual dan spiritual.
Bahkan dalam beberapa riwayat hadits, sekalipun pemimpin umat
itu adalah diktator berdarah dingin, jika ia seorang muslim, tetap wajib
menghormatinya sebagai pemimpin. Dalam beberapa sejarah kejayaan pemerintahan
Islam pun, kepemimpinan berdarah bukanlah hal baru. Namun, huru-hara pada masa
itu sangatlah minim. Cerita rakyat yang berdemonstrasi juga tak terdengar ada. Ini
diperkirakan karena para Ulama cukup ketat mengelola umat.
Mengenai permasalahan boleh atau tidaknya mengangkat pemimpin
non-muslim di masa sekarang, saya tidak berani mengambil keputusan berhubung
saya juga belum membaca semua dalil yang ada, dan juga belum meminta pen
jelasan dari beberapa ulama. Lagian, saya
juga tidak membahas hal tersebut ditulisan ini.
Sekarang, cukup banyak orang yang mencela pemerintahan cacat.
Mulai dari organisasi masyarakat, pemuda, mahasiswa, sampai organisasi berbasis
keagamaan. Bahkan beberapa masa belakangan ini, organisasi keagamaan juga
semakin ramai dalam aktivitas ini.
Saat isu perbedaan agama yang melibatkan Ahok menguap naik, beberapa
kelompok gencar mengeluarkan dalil-dalil untuk tidak memilih pemimpin
non-muslim.
Sadarkah kita, umat Muslim yang tercinta, bahwa kemunculan
Ahok itu sebenarnya tantangan untuk kaum cedekiawan Muslim ?
Kita hanya aktif sebagai pencela dan kritikus. Kita merasa
cukup dengan aksi sosial. Dan terbukti, aksi tersebut tidaklah menjamin keadilan
sosial untuk waktu yang panjang. Yang mana, sifatnya hanyalah untuk keadaan
yang terjadi saat ini saja.
Beberapa organisasi yang patut diacungi jempol antara lain
adalah Muhammadiyah dan FPI. Muhammadiyah konsen bergerak dibidang pendidikan
dan kemaslahatan umat. FPI juga sangat solid dan sudah punya jaminan bahwa umat
yang diayominya mendapat perlindungan dari pengaruh buruk.
Sedangkan sisanya ? Saya tidak mungkin mengatakan sisanya
cuma bisa talk more.
Ada banyak cara sebenarnya untuk membangun kejayaan umat.
Melalui pendidikan, perdagangan,
pertanian, olahraga, teknologi, dan lain-lain. Cuma, kita kekurangan
aksi dibidang politik pemerintahan.
Bukan apa-apa. Sudah saatnya yang selama ini bersembunyi di
balik tirai sutrah ta’lim, keluar dan terjun ke dunia pemerintahan.
Ahok juga tidak om-do alias omong doang. Jiwa sosialnya
terbukti tinggi dan jadi monument tak kasat mata di Belitung Timur. Filosofinya sebagai pemimpin dan cara
hidupnya dalam membangun kehidupan sosial sangat Islami. Program kerjanya benar
dan sesuai janji.
Sebenarnya ini sindiran telak. Kenapa justru pemimpin yang
non-muslim punya mental seperti itu ?
Memang tak semua, namun sejauh ini, yang terkurung di
penjara, yang sedang disidang KPK karena kasus korupsi, mayoritas adalah orang
muslim. Jumlah mayoritas umat Muslim mungkin jadi perbandingan lurus, kalau
yang banyak kena kasus juga orang muslim.
Di satu tempat kita khawatir dengan agresi politik non-muslim
yang jadi pemimpin daerah. Di tempat lain, kita mencela pemerintahan sekarang
yang dihuni oleh orang-orang muslim. Dan pada satu waktu, kita menekan keras
agar umat kita mempertahankan kepemimpinan pemimpin muslim, meski ia tercela
karena ketakutan pada agresi politik non-muslim.
Yah, sudah saatnya kita keluar dari tirai sutrah ta’lim yang
tersembunyi. Ulama sudah saatnya melakukan pembibitan pemimpin. Jika ingin pemimpin yang betul-betul menjalankan
ajaran Islam, kita harus terlibat disana. Bukan hanya mengkritisi mereka, bukan
hanya menunggu siapa lagi pemimpin selanjutnya yang akan kita kritisi.
#Masyarakat butuh keadilan sosial, bukan bantuan sosial.
Selama ini, yang terjadi adalah ; pemimpin tidak benar-benar bisa memberikan
keadilan sosial bagi rakyatnya. Mana kah yang lebih baik, pemimpin yang
memberikan pengobatan gratis dan uang santunan pada korban penonjokan? Atau
pemimpin yang memberikan jaminan bahwa tidak akan ada rakyatnya yang kena
tonjok ?
Mana kah pemimpin yang baik? Apakah pemimpin yang bisa memberikan
pengobatan gratis? Atau pemimpin yang bisa memberikan layanan kesehatan dan
sarana public yang sehat secara terus menerus?
Rakyat butuh jaminan bahwa mereka bisa sekolah gratis. Bukan
bantuan satu-persatu yang hanya turun pada momen-momen tertentu seperti sekolah
gratis bagi pengungsi bencana alam. Saat keadaan membaik, sekolah gratis
hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar