Kisah Dua Muadzin Nabi SAW :: ABDULLAH IBNU UMMI MAKTUM
Sahabat Buta
Kesayangan Nabi SAW
Apabila
Bilal RA tidak ada, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai pengganti Bilal untuk
mengumandangkan adzan shalat lima waktu, karena suaranya yang merdu dan lembut.
Tetapi bila Bilal ada, maka Bilal yang adzan, dan Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan iqamat.
Ia
bukanlah tokoh Makkah, ia hanya orang biasa. Bahkan namanya tak dikenal sebelum
Islam datang. Matanya buta sejak lahir. Meski begitu, semangatnya untuk belajar
sangat tinggi. Ia memanfaatkan pendengaran dan ingatannya sebaik-baik mungkin.
Apa yang didengarnya tidak pernah dilupakannya lagi, sehingga ia mampu
mengutarakan kembali apa yang sudah didengarnya.
Ia
hidup untuk dirinya sendiri. Dan keistimewaannya adalah, tatkala Bilal RA tidak
ada, maka ia yang mengumandangkan adzan.
Dan apabila pada bulan Ramadhan, Bilal RA adzan untuk mengingatkan orang
terhadap waktu sahur, maka Ibnu Ummi Maktum adzan untuk menandakan waktu imsak.
Mengenai
ini, Rasulullah SAW pernah bersabda; “Apabila Bilal adzan malam hari, kalian
boleh makan dan minum hingga terdengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Bukan
hanya itu, Rasulullah juga mengangkatnya sebagai wakil apabila beliau keluar meninggalkan
Madinah untuk berperang, diantaranya saat menyerang Kabilah Banu Sulaim dan
Kabilah Bani Ghathafan. Ia menjadi wali kota Madinah selama perginya
Rasulullah, menjadi imam bagi shalat berjamaah, dan khatib saat shalat Jum’at
menggantikan Rasulullah SAW.
Berikut
kisah-kisah keteladanannya yang patut menjadi contoh.
------------------------------------------------------------
Suatu
shubuh, saat adzan dikumandangkan, Ibnu Ummi berangkat menuju mesjid meski
matanya buta (sejak lahir). Di tengah jalan, ia tersandung batu hingga akhirnya
mengeluarkan darah. Namun tekadnya sudah kuat untuk shalat berjamaah ke mesjid.
Waktu
shubuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda tersebut
menolongnya dan menuntunnya untuk sampai ke mesjid agar tidak tersandung dan
terjatuh seperti kemarin. Sejak saat itulah, pemuda yang sama pun berhari-hari
kemudian selalu menuntunnya untuk pergi ke mesjid.
Ibnu
Ummi Maktum kemudian bermaksud ingin membalas kebaikan pemuda tersebut, dengan
ingin menanyakan namanya, dan mendo’akannya. Tetapi pemuda itu menolak.
“Wahai
saudaraku, siapakah gerangan nama mu? Izinkan aku mengetahuinya, agar aku bisa
mendo’akanmu kepada Allah,” ujarnya.
“Apa
untungnya bagimu mengetahui namaku ? Dan aku tidak mau engkau do’akan,” jawab
pemuda itu.
“Jika
demikian, cukup sampai disini engkau membantuku. Aku tak mau engkau bantu lagi,
karena engkau tak mau ku do’akan.” Kata Ibnu Ummi Maktum.
Akhirnya
pemuda itu mengenalkan siapa dirinya sesungguhnya.
“Wahai
Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis,” ujarnya.
“Lalu
mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarku mesjid?” Bukankah engkau
seharusnya mencegahku untuk datang ke mesjid?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Pemuda
yang sesungguhnya adalah Iblis itu pun berkata;
“Wahai
Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala menuju
mesjid, kau tersandung dan terjatuh? Aku hanya ingin itu tak terulang lagi.
Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku
takut kalau engkau terjatuh lagi, Allah menghapuskan dosamu yang separuhnya
lagi. Sehingga terhapuslah seluruh dosamu. Maka, sia-sia lah aku menggodamu
selama ini.” Kata Iblis.
------------------------------------------------------------
Allah
SWT pun menghargainya dengan memasukkannya kedalam Al-Qur’an. Kisah ini terjadi
kala Ibnu Ummi Maktum menemui Rasulullah untuk belajar dan meminta beliau
membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya. Namun, saat itu Rasulullah sedang
sibuk menghadapi beberapa tokoh-tokoh Qurays, diantaranya Utbah bin Rabi’ah,
Abu Jahal, dan Abbas bin Abdul Muthalib. Dengan harapan mereka mau masuk Islam,
dan meringankan tugasnya serta memudahkan perkembangan Islam. Karena mereka lah
yang selalu merintangi Islam dengan nyawa, harta, kedudukan, dan wibawanya.
Ibnu
Ummi Maktum mengulangi permintaannya itu berulang-ulang di depan Rasulullah,
sehingga Rasulullah merasa terganggu, dengan sikapnya yang selalu memotong
pembicaraannya dengan tokoh-tokoh Qurays tersebut. Karena itu, Rasulullah
memalingkan mukanya dari Ibnu Ummi Maktum.
Disinilah
Allah SWT menegur Rasulullah SAW bahwa sikapnya yang demikian itu tidak pantas
bagi orang yang memiliki akhlaq dan luhur yang tinggi.
Allah
berfirman; “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang
seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya
(dari dosa) atau ia (ingin) mendapat pengajaran, lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya cukup, kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapat
pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), kamu mengabaikannya.” (QS Abasa:
1-10).
Sejak
saat itulah, sebagaimana dinukilkan dalam kitab at-Tafsir al-Munir, karya Syaikh Nawawi Al-Jawi, Sayyid ‘Ulama Al-Hijaz, Rasulullah
sangat memuliakan Ibnu Ummi Maktum. Bila bertemu dengannya, beliau selalu
berkata, “Selamat datang, wahai sahabat, yang aku ditegur Tuhanku karenanya.
Apa engkau memerlukan sesuatu?”
Dalam
riwayat yang lain, Rasulullah SAW bertemu dengannya, beliau suka berucap,
“Selamat datang wahai orang yang dititipkan Tuhanku, untuk diperlakukan dengan
baik.”
------------------------------------------------------------
Setelah
perang Badar, Allah SWT menurunkan wahyu / ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan
bahwa Allah mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi
sabilillah. Dan mencela orang-orang yang tanpa uzur tapi menolak untuk
berperang.
Ayat-ayat
tersebut sangat berkesan di hati Ibnu Ummi Maktum. Tetapi sukar baginya untuk
mendapatkan kemuliaan itu karena keterbatasan fisiknya, yakni mata yang buta. Lalu
ia berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, jika saya tidak buta,
tentu saya akan pergi berperang.”
Kemudian
ia bermohon kepada Allah SWT dengan penuh kerendahan hati, semoga menurunkan
pula ayat-ayat yang mengenai orang-orang dalam keadaan cacat (udzur) tetapi
ingin juga berperang. Ia senantiasa berdo’a; “Ya Allah, turunkanlah wahyu
mengenai orang-orang yang memiliki udzur seperti ku.”
Tidak
berapa lama, do’anya dikabulkan Allah.
Zaid
bin Tsabit yang menjadi juru tulis Rasulullah yang mendapat tugas menulis
wahyu, menceritakan, “Aku duduk disamping Rasulullah SAW. Tiba-tiba beliau
diam, sedang paha beliau terletak diatas pahaku. Aku belum pernah merasakan
beban yang berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu.
Susudah
beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, ‘Tulislah, hai Zaid!’
Lalu
aku menulisnya, ‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak berperang)
dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah…’ – QS An-Nisa: 95.
Ibnu
Ummi Maktum berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak
sanggup berjihad (berperang karena cacat)?’
Setelah
pertanyaan Abdullah, Rasulullah SAW berdiam dan paha beliau menekan pahaku, dan
aku merasa menanggung beban yang berat seperti tadi.
Setelah
beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, ‘Coba baca kembali yang telah
engkau tulis!’
Aku
membaca, ‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk(tidak turut berperang).’
Lalu
kata beliau, ‘Tulis: kecuali mereka bagi orang-orang yang lemah, baik laki-laki
maupun perempuan, ataupun anak-anak, yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak
mengetahui jalan’.” – QS An-Nisa: 98.
Maka
turunlah pengecualian yang diharapkan Ibnu Ummi Maktum tersebut.
Meski
Allah telah memaafkan orang-orang yang punya udzur, tetapi ia tetap bertekad
untuk ikut berperang fi sabilillah. Bahkan ia menentukan tugasnya sendiri di
medan perang. Tekad itu timbul karena jiwa yang besar tak bisa dibilang besar
jika belum mengerjakan suatu pekerjaan yang besar.
Ia
berkata, “Letakkanlah saya diantara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya
akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya tidak akan
lari.”
Tahun
ke 14 Hijriyyah, Khalifah Umar bin Khaththab memutuskan untuk masuk ke Persia
dengan jalan perang. Meruntuhkan pemerintahan yang zhalim dan kafir dengan
pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid. Maka ia memerintahkan segenap
gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, “Jangan ada seorang jua pun yang
ketinggalan dari orang-orang yang bersenjata, orang yang mempunya kuda, atau
yang berani, atau yang berfikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada
saya sesegera mungkin!”
Maka
berkumpullah di Madinah dari segala penjuru, kaum muslimin yang memenuhi seruan
Khalifah. Diantara mereka itu terdapat seorang buta, yakni Ibnu Ummi Maktum.
Khalifah Umar bin Khaththab mengangkat Sa’ad bin Abi Waqash sebagai panglima
perang. Dan memberikan instruksi-instruksi kepada Sa’ad.
Setelah
pasukan itu sampai di Qadisiyah, Abdullah Ibnu Ummi Maktum mengenakan baju besi
dan berpakaian lengkap dengan perlengkapan yang sempurna. Ia tampil sebagai
pembawa bendera kaum muslimin. Dan berjanji senantiasa mengibarkannya, atau
mati disamping bendera itu.
Pada
hari ketiga perang di Qadisiyah, terjadi peperangan yang dahsyatnya belum
mereka lihat sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan itu dan
runtuhlah kekuasaan negeri yang zhalim dan penyembah berhala tersebut.
Sedangkan
Abdullah Ibnu Ummi Maktum, ditemukan tewas dengan darah wanginya, sambil
memeluk bendera kaum Muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar